Jangan Menilai Sesuatu dari Luarnya Tapi Nilailah Juga Dalamnya
|
Pengarang : Dyan Nuranindya
Penerbit : Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga : Rp. 30.000
Cetakan : Pertama, Juli 2009
Ukuran : 13.5 x 20Tebal : 208 halaman
ISBN-10 : 979-22-4735-1
ISBN-13 : 978-979-22-4735-0
Dyan Nuranidya Merupakan penulis muda kelahiran Jakarta, 14
Desember 1985. Lebih sering mengagumi karya orang daripada karyanya sendiri.
Bercita-cita sebagai dokter spesialis jiwa, namun malah lulus dari S1Manajemen
ABFII Perbanas Jakarta. Penikmat segala jenis buku. Bahkan buku-buku yang sama
sekali tidak dimengertinya. Lebih sering kalap kalau ke toko buku daripada ke
toko baju. Fans berat film-film buatan Tim Burton yang terkesan dark dan aneh yang membuatnya ikutan
ngefans dengan aktor Johnny Depp.
Canting
Cantiq merupakan novel remaja ke-3 karya Dyan Nuranindya setelah novel
sebelumnya Dealova (2004) dan Rahasia Bintang (2006). Novel ini diterbitkan
oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2009.
Canting
Cantiq merupakan novel pertama dari 4 novel yang rencananya akan diterbitkan.
Tokoh utama ketiga novel selanjutnya merupakan tokoh-tokoh yang juga terdapat
di dalam novel Canting Cantik
Meskipun
menggunakan bahasa yang ringan, karena dibuat untuk remaja, namun tetralogi
novel tersebut sengaja memasukan unsur Indonesia di masing-masing novelnya
SINOPSIS:
Di
novelnya yang berjudul Canting Cantiq ini Dyan Nuranindya menceritakan tentang
seorang gadis cantik berkehidupan sempurna bernama Melanie Adiwijoyo. Melanie Adiwidjoyo
yang biasa di panggil Mel ini, mempunyai cita-cita menjadi model Internasional.
Ia mempunyai fasion taste yang
tinggi. Hobinya adalah mengomentari style
seseorang yang menurutnya tidak
enak dipandang oleh mata indahnya. Penyakitnya adalah Insomnia.
Mel
adalah gadis sombong dan manja yang hidup bersama ayahnya, Aryo Adiwijoyo. Ia
adalah pengusaha ternama di Jakarta. Karena ada masalah, perusahaan ayahnya
bangkut dan impian Mel hancur lah sudah. Demi memperbaiki perusahaannya, Ayah
Mel terpaksa mengirim Mel ke Jogja untuk tinggal bersama eyangnya, Eyang
Santoso.
Siapa
sangka kalau di Jogja, Eyang Santoso nggak tinggal sendiri. Ia tinggal dengan
cucu-cucu angkatnya yang punya penampilan aneh-aneh. Ada Dara, Dido, Aiko,
Saka, Ipank, Jhony, dan Bima.
Dara adalah cewek tomboy dengan rambut highlight pink yang sangat sibuk dengan
rutinitasnya sebagai penyiar radio. Dido adalah b
Aiko adalah cewek berwajah oriental yang
doyan banget pake minyak telon karena badannya sangat kurus. Hobinya memakai
baju kardingan yang kebesaran. Jadi, kalau dia pakai baju yang minim dia pasti
langsung masuk angin. Lalu Ipang adalah cowok yang emosian. Dia adalah
mahasiswa pentolan senat yang hobinya naik-turun gunung, Dia naksir berat pada
Aiko dan tak pernah berani mengutarakan isi hatinya. Kebiasaan buruka adalah
naik pohon mangga di atas jam dua belas malam karena dia mempunyai penyakit
yang sama seperti Mel, insomnia.
Jhony adalah cowok yang punya rambut kribo
yang punya kebiasaan mewek kalau sedang nonton sineteron. Dia setia banget
dengan motor vespa warna pinknya, dan
dia nggak pernah memakai baju yang matching,
maklum lah dia kan buta warna. Bahkan dia ngotot bahwa vespanya itu warna
oranye ngejreng. Dia itu SKSD (sok kenal sok deket) banget sama orang yang baru
dikenalnya. Dia termasuk cowok yang terkenal karena rambutnya yang freak itu. Lalu Saka adalah cowok
berpenampilan tradisional yang hobinya memainkan wayang. Dia punya
cita-citamenjadi anak band.
Yang terakhir Bima, dia adalah cucu pertama J.B Montaimana
yang memiliki perusahaan besar yaitu Montaimana Group. dia tinggal di Jogja
karena ada semacam tes yang diberikan orang tuanya dan hanya bisa di lakukan di
Jogja. Di Jogjya bima harus memulai semuanya dari nol tanpa membawa nama besar
keluarganya. Tidak ada yang tahu bahwa Bima adalah pewaris dari Montaimana
Group. mereka hanya tahu bahwa Bima adalah pelayan di Kafe Soda yang ternyata
Kafe itu adalah miliknya sendiri. Dia adalah lelaki paling normal yang ada di
rumahnya Eyang. Dan dia juga satu-satunya cowok yang bisa menjatuhkan hati
seorang Melanie Adiwijoyo.
Mereka semua sudah dianggap sebagai cucu
oleh Eyang Santoso. Rumah Eyang Santoso menjadi tempat kos-kosan bagi anak yang
kreatif dan inovatif seperti mereka. Rumah eyang santoso terletak di Jl.
Solidaritas nomor 124, yang di singkat jadi SODA124 dibaca SODARA. Mereka disebut
sebagai anak-anak Soda.
Disana Mel juga bertemu dengan desainer
kebaya bernama Aryati Sastra yang getol mengajarinya menjahit. Aryati sastra
berhasil mengubah pendapat Mel bahwa ia punya bakat sebagai fasion designer bukan hanya sebagai
model Internasional. Kebiasaan fasion
police Mel yang mendukung pendapat Mel bahawa ia bercita-cita sebagai model
Internasional. Teryata tidak, itu hanya dari sudut padang Mel saja. Ia tak
pernah berfikir akan menjadi fasion
designer, karena itu membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang tinggi.
Mel merasa Batik dan Kebaya adalah pakaian
yang kuno. Fasion designer adalah pekerjaan yang sulit dan hanya membuang-buang
waktu. Tapi pikiran itu sudah Mel buang jauh-jauh saat Mel sudah mengetahui iner beauty dari batik dan kebaya. Dan fasion designer memang pekerjaan yang
penuh kesabaran dan ketelitian, tapi kalau dia mengerjakannya dengan hati yang
ikhlas semuanya akan terasa mudah.
Saat Mel tau dia akan tinggal bersama
anak-anak Soda yang aneh-aneh, Mel merasa tidak akan kuat tinggal di Jojga.
Tapi ternyata keanehan mereka membuat Mel belajar sesuatu yang sangat pening
yaitu “Tidak peduli seberapa anehnya seseorang, tidak peduli seberapa kunonya
seseorang, saat orang itu bersama kita, kita akan tau seberapa baiknya orang
tersebut. Karena kepribadian seseorang tidak bisa dilihat dari penampilannya.”
PENDAPAT:
Novel ini sangat menarik untuk dibaca.
Tidak ada kesalahan pengetikan, kata-katanya sangat simple dan cocok untuk para remaja yang sedang ada dalam masa
puber, karena di bumbui oleh kisah cinta yang sangat menggetarkan hati, seperti
menonton sineteron.
Dan
lagi, sekarang kita berada dalam era globalisasi. Model pakaian asing yang
sedang ngetrend pasti langsung
menyebar dan menjadi trendcenter
dalam urusan fasion. Tapi novel ini
menyadarkan kita bahwa bukan hanya pakaian luar negeri yang bisa menjadi trendcenter. Tapi Indonesia walaupun
bukan menjadi trendcenter, paling
tidak bisa menjadi trendsetter dengan
batik, yang asli berasal dari Indonesia.
Kini
batik sudah dipakai oleh model Internasinal seperti yang ada dalam kutipan
kalimat di halaman 115, “Adidas sudah menggunakan batik sebagai motif topinya. Mariah
Carey juga punya gaun batik. Bill Clinton, Nelson Mandela, dan selebriti red carpet banyak yang mengagumi dan
memakai batik buatan Indonesia. Seharusnya kita bangga menjadi orang
Indonesia…”, halaman 199 “Saat ini di mal-mal, kafe, restoran, dan tempat-tempat
nongkrong anak muda penuh dengan remaja yang yang mengenakan batik. Jadi susah
dibedain mana yang trendsetter dan
mana yang follower.”
Saat pertama membaca novel ini saya pikir
Judul dan isinya tidak cocok. Karena, apa urusannya Canting yang Cantiq dengan seorang
gadis yang sombong? Tapi ternyata saat saya baca sampai akhir, Canting Cantiq
adalah label pakaian yang dibuat dan di desain sendiri oleh Melanie. Saya
tersadarkan bahwa benar apa yang ada di novel ini, bahwa jangan menilai sesuatu
dari luarnya tapi nilai juga dari dalamnya.
Novel
ini bisa merubah pikiran anak muda yang sudah tidak peduli lagi dengan
kebudayaan Indonesia, menjadi lebih mencintai, menghargai, dan mengembangkan
kebudayaan Indonesia.